LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2011
TENTANG
SUNGAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 38 TAHUN 2011
TENTANG
SUNGAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4377);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUNGAI. .
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Sungai
adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air
beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan
dan kiri oleh garis sempadan.
2. Danau
paparan banjir adalah tampungan air alami yang merupakan bagian dari sungai
yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai.
3. Dataran
banjir adalah dataran di sepanjang kiri dan/atau kanan sungai yang tergenang
air pada saat banjir.
4.
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,
dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
5. Daerah
aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
6. Wilayah
sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau
lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari
atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilo meter persegi).
7. Banjir
adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.
8. Bantaran
sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam
yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.
Garis
sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan
sebagai batas perlindungan sungai.
9.
Masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia, baik sebagai orang perseorangan,
kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang berhimpun dalam suatu
lembaga atau organisasi kemasyarakatan.
10.
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya
air.
Pasal 2
Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai ruang
sungai, pengelolaan sungai, perizinan, sistem informasi, dan pemberdayaan
masyarakat.
Pasal 3
(1) Sungai
dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara.
(2)
Pengelolaan sungai dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan
lingkungan dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan fungsi sungai yang
berkelanjutan.
Pasal 4
Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
BAB II
RUANG SUNGAI
Pasal 5
RUANG SUNGAI
Pasal 5
(1) Sungai
terdiri atas:
a. palung
sungai; dan
b. sempadan sungai.
b. sempadan sungai.
(2) Palung
sungai dan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk ruang
sungai.
(3) Dalam
hal kondisi topografi tertentu dan/atau banjir, ruang sungai dapat terhubung
dengan danau paparan banjir dan/atau dataran banjir.
(4) Palung
sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai ruang wadah
air mengalir dan sebagai tempat berlangsungnya kehidupan ekosistem sungai.
(5) Sempadan
sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai ruang
penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan
manusia tidak saling terganggu.
Pasal 6
(1) Palung
sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a membentuk jaringan
pengaliran air, baik yang mengalir secara menerus maupun berkala.
(2) Palung
sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan topografi
terendah alur sungai.
Pasal 7
Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul
untuk mengendalikan banjir, ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki
tanggul merupakan bantaran sungai.
Pasal 8
(1) Sempadan
sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b meliputi ruang di
kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan dan tepi palung sungai
untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara garis sempadan dan tepi luar kaki
tanggul untuk sungai bertanggul.
(2) Garis
sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan pada:
a. sungai
tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
b. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;
c. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
d. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan;
e. sungai yang terpengaruh pasang air laut;
f. danau paparan banjir; dan
g. mata air.
b. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;
c. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
d. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan;
e. sungai yang terpengaruh pasang air laut;
f. danau paparan banjir; dan
g. mata air.
Pasal 9
Garis
sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a ditentukan:
a. paling
sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan
3 m (tiga meter);
b. paling sedikit
berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter)
sampai dengan 20 m (dua puluh meter); dan
c. paling
sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m (dua puluh
meter).
Pasal 10
(1) Sungai
tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. sungai
besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 Km2 (lima ratus kilometer
persegi); dan
b. sungai
kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan 500 Km2(lima
ratus kilometer persegi).
(2) Garis
sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan paling sedikit berjarak 100 m
(seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
(3) Garis
sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditentukan paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari
tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Pasal 11
Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan paling
sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur
sungai.
Pasal 12
Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d ditentukan paling
sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur
sungai.
Pasal 13
Penentuan garis sempadan yang terpengaruh pasang air
laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e, dilakukan dengan cara
yang sama dengan penentuan garis sempadan sesuai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12 yang diukur dari tepi muka air pasang rata-rata.
Pasal 14
Garis sempadan danau paparan banjir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f ditentukan mengelilingi danau paparan
banjir paling sedikit berjarak 50 m (lima puluh meter) dari tepi muka air
tertinggi yang pernah terjadi.
Pasal 15
Garis sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf g ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit
berjarak 200 m (dua ratus meter) dari pusat mata air.
Pasal 16
(1) Garis
sempadan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kajian penetapan garis sempadan.
(3) Dalam
penetapan garis sempadan harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi
sungai, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan
akses bagi peralatan, bahan, dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan
operasi dan pemeliharaan sungai.
(4) Kajian
penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling
sedikit mengenai batas ruas sungai yang ditetapkan, letak garis sempadan, serta
rincian jumlah dan jenis bangunan yang terdapat di dalam sempadan.
(5) Kajian
penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh tim
yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
(6) Tim
kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
beranggotakan wakil dari instansi teknis dan unsur masyarakat.
Pasal 17
(1) Dalam
hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan
terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam
status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan
fungsi sempadan sungai.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi bangunan yang
terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan tertentu yang
meliputi:
a. bangunan
prasarana sumber daya air;
b. fasilitas jembatan dan dermaga;
c. jalur pipa gas dan air minum; dan
d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.
b. fasilitas jembatan dan dermaga;
c. jalur pipa gas dan air minum; dan
d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.
BAB III
PENGELOLAAN SUNGAI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
PENGELOLAAN SUNGAI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
(1)
Pengelolaan sungai meliputi:
a.
konservasi sungai;
b. pengembangan sungai; dan
c. pengendalian daya rusak air sungai.
b. pengembangan sungai; dan
c. pengendalian daya rusak air sungai.
(2)
Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahap:
a.
penyusunan program dan kegiatan;
b. pelaksanaan kegiatan; dan
c. pemantauan dan evaluasi.
b. pelaksanaan kegiatan; dan
c. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 19
(1)
Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh:
a. Menteri,
untuk sungai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara,
dan wilayah sungai strategis nasional;
b. gubernur,
untuk sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
c.
bupati/walikota, untuk sungai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
(2) Pengelolaan
sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan instansi
teknis dan unsur masyarakat terkait.
(3)
Pengelolaan sungai dilaksanakan berdasarkan norma, standar, pedoman, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Konservasi Sungai
Pasal 20
Konservasi Sungai
Pasal 20
(1)
Konservasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a
dilakukan melalui kegiatan:
a.
perlindungan sungai; dan
b. pencegahan pencemaran air sungai.
b. pencegahan pencemaran air sungai.
(2)
Perlindungan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
melalui perlindungan terhadap:
a. palung
sungai;
b. sempadan sungai;
c. danau paparan banjir; dan
d. dataran banjir.
b. sempadan sungai;
c. danau paparan banjir; dan
d. dataran banjir.
(3)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pula terhadap:
a. aliran
pemeliharaan sungai; dan
b. ruas restorasi sungai.
b. ruas restorasi sungai.
Pasal 21
(1)
Perlindungan palung sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a
dilakukan dengan menjaga dimensi palung sungai.
(2) Menjaga
dimensi palung sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengaturan pengambilan komoditas tambang di sungai.
(3)
Pengambilan komoditas tambang di sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan pada sungai yang mengalami kenaikan dasar sungai.
Pasal 22
(1)
Perlindungan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf
b dilakukan melalui pembatasan pemanfaatan sempadan sungai.
(2) Dalam
hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan pengendali
banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan:
a. menanam
tanaman selain rumput;
b. mendirikan bangunan; dan
c. mengurangi dimensi tanggul.
b. mendirikan bangunan; dan
c. mengurangi dimensi tanggul.
(3)
Pemanfaatan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan untuk keperluan tertentu.
Pasal 23
(1)
Perlindungan danau paparan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
huruf c dilakukan dengan mengendalikan sedimen dan pencemaran air pada danau.
(2)
Pengendalian sedimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pencegahan erosi pada daerah tangkapan air.
Pasal 24
(1)
Perlindungan dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf
d dilakukan pada dataran banjir yang berpotensi menampung banjir.
(2)
Perlindungan dataran banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
membebaskan dataran banjir dari peruntukan yang mengganggu fungsi penampung
banjir.
Pasal 25
(1)
Perlindungan aliran pemeliharaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) huruf a ditujukan untuk menjaga ekosistem sungai.
(2) Menjaga
ekosistem sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari hulu
sampai muara sungai.
(3)
Perlindungan aliran pemeliharaan sungai dilakukan dengan mengendalikan
ketersediaan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen).
(4) Dalam
hal debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen) tidak tercapai, pengelola
sumber daya air harus mengendalikan pemakaian air di hulu.
Pasal 26
(1)
Perlindungan ruas restorasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
huruf b ditujukan untuk mengembalikan sungai ke kondisi alami.
(2)
Perlindungan ruas restorasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. kegiatan
fisik; dan
b. rekayasa secara vegetasi.
b. rekayasa secara vegetasi.
(3) Kegiatan
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penataan palung
sungai, penataan sempadan sungai dan sempadan danau paparan banjir, serta
rehabilitasi alur sungai.
Pasal 27
(1)
Pencegahan pencemaran air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. penetapan
daya tampung beban pencemaran;
b. identifikasi dan inventarisasi sumber air limbah yang masuk ke sungai;
c. penetapan persyaratan dan tata cara pembuangan air limbah;
d. pelarangan pembuangan sampah ke sungai;
e. pemantauan kualitas air pada sungai; dan
f. pengawasan air limbah yang masuk ke sungai.
b. identifikasi dan inventarisasi sumber air limbah yang masuk ke sungai;
c. penetapan persyaratan dan tata cara pembuangan air limbah;
d. pelarangan pembuangan sampah ke sungai;
e. pemantauan kualitas air pada sungai; dan
f. pengawasan air limbah yang masuk ke sungai.
(2) Pencegahan
pencemaran air sungai dilaksanakan sesuai dengan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan
sungai diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sungai
Pasal 29
Pengembangan Sungai
Pasal 29
Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) huruf b merupakan bagian dari pengembangan sumber daya air.
Pasal 30
(1)
Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan melalui
pemanfaatan sungai.
(2)
Pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemanfaatan
untuk:
a. rumah
tangga;
b. pertanian;
c. sanitasi lingkungan;
d. industri;
e. pariwisata;
f. olahraga;
g. pertahanan;
h. perikanan;
i. pembangkit tenaga listrik; dan
j. transportasi.
b. pertanian;
c. sanitasi lingkungan;
d. industri;
e. pariwisata;
f. olahraga;
g. pertahanan;
h. perikanan;
i. pembangkit tenaga listrik; dan
j. transportasi.
(3)
Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak
merusak ekosistem sungai, mempertimbangkan karakteristik sungai, kelestarian
keanekaragaman hayati, serta kekhasan dan aspirasi daerah/masyarakat setempat.
Pasal 31
(1)
Pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan:
a.
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam
sistem irigasi yang sudah ada; dan
b.
mengalokasikan kebutuhan air untuk aliran pemeliharaan sungai.
(2) Dalam
melakukan pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
a.
mengakibatkan terjadinya pencemaran; dan
b.
mengakibatkan terganggunya aliran sungai dan/atau keruntuhan tebing sungai.
Pasal 32
Dalam melakukan pemanfaatan sungai untuk perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf h, selain harus mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, harus pula mempertimbangkan daya
tampung dan daya dukung lingkungan sungai.
Pasal 33
Dalam melakukan pemanfaatan sungai untuk pembangkit
tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf i, selain
harus mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dilarang
menimbulkan banjir dan kekeringan pada daerah hilir.
Bagian Keempat
Pengendalian Daya Rusak Air Sungai
Pasal 34
Pengendalian Daya Rusak Air Sungai
Pasal 34
(1)
Pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf c dilakukan melalui pengelolaan resiko banjir.
(2)
Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terpadu bersama pemilik kepentingan.
Pasal 35
(1)
Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ditujukan untuk
mengurangi kerugian banjir.
(2)
Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.
pengurangan resiko besaran banjir; dan
b. pengurangan resiko kerentanan banjir.
b. pengurangan resiko kerentanan banjir.
(3) Kegiatan
pengurangan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(1)
Pengurangan resiko besaran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
huruf a dilakukan dengan membangun:
a. prasarana
pengendali banjir; dan
b. prasarana pengendali aliran permukaan.
b. prasarana pengendali aliran permukaan.
(2)
Pembangunan prasarana pengendali banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan membuat:
a.
peningkatan kapasitas sungai;
b. tanggul;
c. pelimpah banjir dan/atau pompa;
d. bendungan; dan
e. perbaikan drainase perkotaan.
b. tanggul;
c. pelimpah banjir dan/atau pompa;
d. bendungan; dan
e. perbaikan drainase perkotaan.
(3)
Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan membuat:
a. resapan
air; dan
b. penampung banjir.
b. penampung banjir.
Pasal 37
(1) Resapan
air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf a dapat berupa saluran,
pipa berlubang, sumur, kolam resapan, dan bidang resapan sesuai dengan kondisi
tanah dan kedalaman muka air tanah.
(2) Dalam
hal bidang resapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan untuk
keperluan lain, wajib menggunakan lapis penutup atau perkerasan lulus air.
Pasal 38
(1)
Pembangunan penampung banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf
b harus terhubung dengan sungai.
(2) Dalam
hal penampung banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun di atas hak
atas tanah perorangan atau badan hukum, pelaksanaannya wajib dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 39
(1)
Pembangunan prasarana yang berfungsi sebagai pengendali banjir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan
oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(2)
Pembangunan prasarana yang berfungsi sebagai drainase kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (2) huruf e dilaksanakan oleh bupati/walikota.
Pasal 40
(1)
Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota
apabila pengendali aliran permukaan berfungsi sebagai pengendali banjir.
(2)
Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh bupati/walikota apabila pengendali aliran
permukaan berfungsi sebagai drainase kota.
Pasal 41
(1)
Pengurangan resiko kerentanan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2) huruf b dilakukan melalui pengelolaan dataran banjir.
(2)
Pengelolaan dataran banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penetapan
batas dataran banjir:
b. penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir;
c. pengawasan peruntukan lahan di dataran banjir;
d. persiapan menghadapi banjir;
e. penanggulangan banjir; dan
f. pemulihan setelah banjir.
b. penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir;
c. pengawasan peruntukan lahan di dataran banjir;
d. persiapan menghadapi banjir;
e. penanggulangan banjir; dan
f. pemulihan setelah banjir.
Pasal 42
(1)
Penetapan batas dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)
huruf a dilakukan dengan identifikasi genangan banjir yang terjadi sebelumnya
dan/atau pemodelan genangan dengan debit rencana 50 (lima puluh) tahunan.
(2)
Penetapan batas dataran banjir dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan/atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Pasal 43
(1) Dalam
dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ditetapkan zona
peruntukan lahan sesuai resiko banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(2) huruf b.
(2)
Penetapan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peta zonasi
peruntukan lahan dataran banjir.
(3)
Penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir dilakukan oleh
bupati/walikota.
Pasal 44
Bupati/walikota melakukan pengawasan atas zona
peruntukan lahan sesuai resiko banjir yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3).
Pasal 45
(1)
Persiapan menghadapi banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf
d dilakukan melalui kegiatan:
a.
penyediaan dan pengujian sistem prakiraan banjir serta peringatan dini;
b. pemetaan kawasan beresiko banjir;
c. inspeksi berkala kondisi prasarana pengendali banjir;
d. peningkatan kesadaran masyarakat;
e. penyediaan dan sosialisasi jalur evakuasi dan tempat pengungsian; dan
f. penyusunan dan penetapan prosedur operasi lapangan penanggulangan banjir.
b. pemetaan kawasan beresiko banjir;
c. inspeksi berkala kondisi prasarana pengendali banjir;
d. peningkatan kesadaran masyarakat;
e. penyediaan dan sosialisasi jalur evakuasi dan tempat pengungsian; dan
f. penyusunan dan penetapan prosedur operasi lapangan penanggulangan banjir.
(2) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, bupati
dan/atau walikota sesuai kewenangannya.
Pasal 46
Penanggulangan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (2) huruf e dikoordinasikan oleh badan penanggulangan bencana nasional,
provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 47
(1)
Pemulihan setelah banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf f
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melalui kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
(2) Kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk memulihkan kondisi lingkungan, fasillitas umum, fasilitas sosial, serta
prasarana sungai.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengelolaan
dataran banjir diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyusunan Program dan Kegiatan
Pasal 49
Penyusunan Program dan Kegiatan
Pasal 49
Penyusunan program dan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a meliputi program konservasi sungai,
pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai.
Pasal 50
(1) Program
konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disusun berdasarkan rencana pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai yang telah ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya air.
(2) Dalam
hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, program konservasi sungai,
pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai disusun berdasarkan
kebutuhan.
(3) Program
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan dengan rencana pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai yang akan ditetapkan.
Pasal 51
(1) Program
konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) disusun untuk jangka waktu 5
(lima) tahun.
(2) Program
konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan lebih lanjut dalam rencana
kegiatan tahunan.
(3) Rencana
kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat rencana rinci
pelaksanaan kegiatan serta pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi sungai,
pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai.
Pasal 52
(1)
Penyusunan program dan rencana kegiatan tahunan harus memperhitungkan:
a. manfaat
dan dampak jangka panjang;
b. penggunaan teknologi yang ramah lingkungan;
c. biaya pengoperasian dan pemeliharaan yang minimum; dan
d. ketahanan terhadap perubahan kondisi alam setempat.
b. penggunaan teknologi yang ramah lingkungan;
c. biaya pengoperasian dan pemeliharaan yang minimum; dan
d. ketahanan terhadap perubahan kondisi alam setempat.
(2)
Penyusunan program dan rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Kegiatan
Pasal 53
Pelaksanaan Kegiatan
Pasal 53
Pelaksanaan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b meliputi
kegiatan:
a. fisik dan
nonfisik konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak
air sungai; dan
b. operasi dan pemeliharaan prasarana sungai serta
pemeliharaan sungai.
Pasal 54
(1)
Pelaksanaan kegiatan fisik dan nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf
a dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kepentingan sendiri berdasarkan izin.
(2) Pemegang
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas operasi dan
pemeliharaan kegiatan fisik.
(3) Dalam
hal tertentu pelaksanaan kegiatan fisik dan nonfisik dapat dilakukan tanpa
izin.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin kepada masyarakat
diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 55
(1)
Pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana sungai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan melalui kegiatan:
a.
pengaturan dan pengalokasian air sungai;
b.
pemeliharaan untuk pencegahan kerusakan dan/atau penurunan fungsi prasarana
sungai; dan
c. perbaikan
terhadap kerusakan prasarana sungai.
(2)
Pelaksanaan kegiatan pemeliharaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
huruf b dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan konservasi sungai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28, dan pengembangan
sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 33.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara operasi dan pemeliharaan prasarana
sungai serta pemeliharaan sungai diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 56
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 56
(1) Pemantauan
dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dilakukan
secara berkala dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
(2)
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan pengamatan, pencatatan, dan evaluasi hasil pemantauan.
(3) Hasil
evaluasi pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai
masukan dalam peningkatan kinerja dan/atau peninjauan ulang rencana pengelolaan
sungai.
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 57
PERIZINAN
Pasal 57
(1) Setiap
orang yang akan melakukan kegiatan pada ruang sungai wajib memperoleh izin.
(2) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
pelaksanaan konstruksi pada ruang sungai;
b. pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran dan/atau alur sungai;
c. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai;
d. pemanfaatan bekas sungai;
b. pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran dan/atau alur sungai;
c. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai;
d. pemanfaatan bekas sungai;
e.
pemanfaatan air sungai selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada;
f.
pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air;
g. pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi;
h. pemanfaatan sungai di kawasan hutan;
i. pembuangan air limbah ke sungai;
j. pengambilan komoditas tambang di sungai; dan
k. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan karamba atau jaring apung.
g. pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi;
h. pemanfaatan sungai di kawasan hutan;
i. pembuangan air limbah ke sungai;
j. pengambilan komoditas tambang di sungai; dan
k. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan karamba atau jaring apung.
Pasal 58
(1) Izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f
diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf g diberikan oleh instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis
dari pengelola sumber daya air.
(3) Izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf h diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam bentuk Izin Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan pemanfaatan aliran air dan pemanfataan air setelah
mendapat rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan kecuali untuk kawasan hutan yang
pengelolaannya telah dilimpahkan kepada badan usaha milik negara di bidang
kehutanan.
(4) Izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf i dan huruf j diberikan oleh
bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah
mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.
(5) Izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf k diberikan oleh instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis
dari pengelola sumber daya air.
Pasal 59
Pemegang izin kegiatan pada ruang sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib:
a. melindungi dan memelihara kelangsungan fungsi sungai;
b. melindungi dan mengamankan prasarana sungai;
c. mencegah terjadinya pencemaran air sungai;
d. menanggulangi dan memulihkan fungsi sungai dari pencemaran air sungai;
e. mencegah
gejolak sosial yang timbul berkaitan dengan kegiatan pada ruang sungai; dan
f.
memberikan akses terhadap pelaksanaan pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan
pemeriksaan.
Pasal 60
(1) Setiap
pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(2) Selain
dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila
pelaksanaan kegiatan pada ruang sungai yang dilakukan oleh pemegang izin
menimbulkan:
a. kerusakan
pada ruang sungai dan/atau lingkungan sekitarnya, wajib melakukan pemulihan
dan/atau perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkannya; dan/atau
b. kerugian
pada masyarakat, wajib mengganti biaya kerugian yang dialami masyarakat.
BAB V
SISTEM INFORMASI SUNGAI
Pasal 61
SISTEM INFORMASI SUNGAI
Pasal 61
(1) Pemerintah,
pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya
menyelenggarakan sistem informasi sungai.
(2) Sistem
informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari
sistem informasi sumber daya air.
(3) Sistem
informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperbarui sesuai
kebutuhan.
(4) Sistem
informasi sungai bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
Pasal 62
Penyelenggaraan sistem informasi sungai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis yang
membidangi pengelolaan sumber daya air.
Pasal 63
(1)
Masyarakat dapat menyelenggarakan sistem informasi yang terkait dengan sungai
untuk kepentingan sendiri.
(2)
Informasi yang dihasilkan dari sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disampaikan kepada dan/atau dapat diakses oleh Pemerintah, pemerintah
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
Pasal 64
Sistem informasi sungai meliputi:
a. data variabel dan parameter sungai;
b. operasi peralatan; dan
c. pelaksana sistem informasi.
a. data variabel dan parameter sungai;
b. operasi peralatan; dan
c. pelaksana sistem informasi.
Pasal 65
(1) Data
variabel sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a merupakan informasi
mengenai data ketersediaan air dan kejadian banjir.
(2) Data
ketersediaan air dan kejadian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi data:
a. curah
hujan;
b. elevasi muka air sungai;
c. kandungan sedimen air sungai;
d. pengambilan air;
e. data fisik banjir; dan
f. penyebab, jenis, dan jumlah kerugian akibat banjir.
b. elevasi muka air sungai;
c. kandungan sedimen air sungai;
d. pengambilan air;
e. data fisik banjir; dan
f. penyebab, jenis, dan jumlah kerugian akibat banjir.
(3) Data
mengenai ketersediaan air dan kejadian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diinventarisasi oleh instansi yang membidangi sumber daya air.
Pasal 66
(1)Sistem
informasi mengenai parameter sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a
meliputi data fisik sungai dan data fisik daerah aliran sungai serta data
sosial ekonomi masyarakat di daerah aliran sungai.
(2) Data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
a. topografi
alur sungai;
b. prasarana sungai;
c. kondisi fisik daerah aliran sungai;
d. hidrometeorologi
e. hidrogeologi;
f. kondisi penutup lahan;
g. rencana tata ruang;
h. kelembagaan yang terkait dengan sungai;
i. kependudukan;
j. mata pencaharian penduduk; dan
k. kearifan lokal.
b. prasarana sungai;
c. kondisi fisik daerah aliran sungai;
d. hidrometeorologi
e. hidrogeologi;
f. kondisi penutup lahan;
g. rencana tata ruang;
h. kelembagaan yang terkait dengan sungai;
i. kependudukan;
j. mata pencaharian penduduk; dan
k. kearifan lokal.
(3) Data
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari instansi yang mengelola data
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 67
(1) Operasi
peralatan sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b
diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan pengumpulan data, pengolahan data,
dan pengiriman data.
(2)
Peralatan sistem informasi sungai terdiri atas perangkat keras dan perangkat
lunak.
(3)
Perangkat keras dan perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi kriteria mudah dioperasikan, akurat, dan tidak mudah rusak.
(4)
Pengadaan peralatan sistem informasi sungai harus mengutamakan produksi dalam
negeri.
Pasal 68
(1)
Pelaksana sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c
harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang
sistem informasi sungai.
(2) Keahlian
di bidang sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas keahlian pengumpulan data sungai, pengolahan data sungai, dan pengiriman
data sungai.
(3)
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
kewenangannya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia yang ditugaskan menangani sistem informasi
sungai.
BAB VI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 69
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 69
(1)
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
kewenangannya melakukan pemberdayaan masyarakat secara terencana dan sistematis
dalam pengelolaan sungai.
(2) Pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a.
sosialisasi;
b. konsultasi publik; dan
c. partisipasi masyarakat.
b. konsultasi publik; dan
c. partisipasi masyarakat.
(3)
Sosialisasi, konsultasi publik, dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dalam kegiatan konservasi sungai, pengembangan sungai,
dan pengendalian daya rusak air sungai.
(4) Dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya harus menyediakan pusat
informasi.
Pasal 70
(1) Kegiatan
sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a ditujukan
untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap masalah yang terkait dengan
perlindungan sungai, pencegahan pencemaran air sungai, serta pengurangan resiko
kerentanan banjir.
(2) Kegiatan
sosialisasi dilakukan melalui pengenalan lingkungan sungai, kunjungan lapangan,
identifikasi masalah, pendampingan, dan pelatihan.
Pasal 71
(1) Kegiatan
konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b ditujukan
untuk memperoleh masukan dalam rangka meningkatkan efektifitas kegiatan
pengelolaan sungai.
(2) Kegiatan
konsultasi publik dilakukan melalui survei pendapat umum, diskusi, dengar
pendapat, dan lokakarya mengenai pengelolaan sungai.
Pasal 72
(1) Kegiatan
partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c
ditujukan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sungai.
(2) Kegiatan
partisipasi masyarakat dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja dan kerja
sama pengelolaan sungai.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan sungai diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 74
Dalam rangka memberikan motivasi kepada masyarakat
agar peduli terhadap sungai, tanggal ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan sebagai Hari Sungai Nasional.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 75
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 75
(1) Bekas
sungai dikuasai negara.
(2) Lokasi
bekas sungai dapat digunakan untuk membangun prasarana sumber daya air, sebagai
lahan pengganti bagi pemilik tanah yang tanahnya terkena alur sungai baru,
kawasan budidaya dan/atau kawasan lindung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam
hal sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercatat sebagai barang milik
negara/daerah, penggunaan bekas sungai dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan bekas sungai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 76
(1) Dalam
hal terjadi pengalihan alur pada sungai sehingga terbentuk alur sungai baru
yang pelaksanaannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
perolehan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
alur sungai baru dicatat sebagai barang milik negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam
hal terjadi pengalihan alur pada sungai sehingga terbentuk alur sungai baru
yang pelaksanaannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
perolehan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
alur sungai baru dicatat sebagai barang milik daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
(1) Sungai
dan/atau anak sungai yang seluruh daerah tangkapan airnya terletak dalam satu
wilayah perkotaan, dapat berfungsi sebagai drainase perkotaan.
(2) Sungai
dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan, pengelolaannya
diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan pembinaan teknis dari
Menteri.
(3)
Penentuan sungai dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah kabupaten/kota dengan
Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.
Pasal 78
Pengelolaan sungai yang dilakukan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dapat dilimpahkan sebagian
pengelolaannya kepada gubernur dan/atau bupati/walikota berdasarkan asas
dekonsentrasi atau tugas pembantuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 79
Pengelolaan sungai dapat dilakukan melalui kerja sama
antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 80
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 80
Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
Peraturan Pemerintah ini berlaku, Menteri, gubernur, bupati/walikota wajib
menetapkan garis sempadan pada semua sungai yang berada dalam kewenangannya.
Pasal 81
(1) Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, setiap izin pemanfaatan sungai
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.
(2)
Permohonan izin pemanfaatan sungai yang sedang dalam proses wajib disesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 82
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 83
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 84
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 27 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
pada tanggal 27 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
(c)2010
Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info
|| Kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar