Selamat Datang di web FKWA ( Forum Komunikasi Winongo Asri )

Selasa, 27 Maret 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI






LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2011
TENTANG
SUNGAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     bahwa dalam rangka konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sungai;

Mengingat:     1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUNGAI. .
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
2. Danau paparan banjir adalah tampungan air alami yang merupakan bagian dari sungai yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai.
3. Dataran banjir adalah dataran di sepanjang kiri dan/atau kanan sungai yang tergenang air pada saat banjir.
4. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
5. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
6. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilo meter persegi).
7. Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.
8. Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.
Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
9. Masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia, baik sebagai orang perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan.
10. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air.

Pasal 2
Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai ruang sungai, pengelolaan sungai, perizinan, sistem informasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 3
(1) Sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara.
(2) Pengelolaan sungai dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan fungsi sungai yang berkelanjutan.

Pasal 4
Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
BAB II
RUANG SUNGAI

Pasal 5
(1) Sungai terdiri atas:
a. palung sungai; dan
b. sempadan sungai.
(2) Palung sungai dan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk ruang sungai.
(3) Dalam hal kondisi topografi tertentu dan/atau banjir, ruang sungai dapat terhubung dengan danau paparan banjir dan/atau dataran banjir.
(4) Palung sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai ruang wadah air mengalir dan sebagai tempat berlangsungnya kehidupan ekosistem sungai.
(5) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.

Pasal 6

(1) Palung sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a membentuk jaringan pengaliran air, baik yang mengalir secara menerus maupun berkala.
(2) Palung sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan topografi terendah alur sungai.

Pasal 7
Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk mengendalikan banjir, ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki tanggul merupakan bantaran sungai.
Pasal 8
(1) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
(2) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan pada:
a. sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
b. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;
c. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
d. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan;
e. sungai yang terpengaruh pasang air laut;
f. danau paparan banjir; dan
g. mata air.

Pasal 9
Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a ditentukan:
a. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m (tiga meter);
b. paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter); dan
c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m (dua puluh meter).

Pasal 10
(1) Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 Km2 (lima ratus kilometer persegi); dan
b. sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan 500 Km2(lima ratus kilometer persegi).
(2) Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan paling sedikit berjarak 100 m (seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
(3) Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.

Pasal 11
Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Pasal 12
Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d ditentukan paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Pasal 13
Penentuan garis sempadan yang terpengaruh pasang air laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e, dilakukan dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan sesuai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yang diukur dari tepi muka air pasang rata-rata.
Pasal 14
Garis sempadan danau paparan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f ditentukan mengelilingi danau paparan banjir paling sedikit berjarak 50 m (lima puluh meter) dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi.
Pasal 15
Garis sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf g ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit berjarak 200 m (dua ratus meter) dari pusat mata air.
Pasal 16
(1) Garis sempadan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kajian penetapan garis sempadan.
(3) Dalam penetapan garis sempadan harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan, dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan sungai.
(4) Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit mengenai batas ruas sungai yang ditetapkan, letak garis sempadan, serta rincian jumlah dan jenis bangunan yang terdapat di dalam sempadan.
(5) Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(6) Tim kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) beranggotakan wakil dari instansi teknis dan unsur masyarakat.

Pasal 17
(1) Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk fasilitas kepentingan tertentu yang meliputi:
a. bangunan prasarana sumber daya air;
b. fasilitas jembatan dan dermaga;
c. jalur pipa gas dan air minum; dan
d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.

BAB III
PENGELOLAAN SUNGAI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
(1) Pengelolaan sungai meliputi:
a. konservasi sungai;
b. pengembangan sungai; dan
c. pengendalian daya rusak air sungai.
(2) Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahap:
a. penyusunan program dan kegiatan;
b. pelaksanaan kegiatan; dan
c. pemantauan dan evaluasi.

Pasal 19
(1) Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh:
a. Menteri, untuk sungai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
b. gubernur, untuk sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
c. bupati/walikota, untuk sungai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
(2) Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait.
(3) Pengelolaan sungai dilaksanakan berdasarkan norma, standar, pedoman, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua
Konservasi Sungai

Pasal 20
(1) Konservasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sungai; dan
b. pencegahan pencemaran air sungai.
(2) Perlindungan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui perlindungan terhadap:
a. palung sungai;
b. sempadan sungai;
c. danau paparan banjir; dan
d. dataran banjir.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pula terhadap:
a. aliran pemeliharaan sungai; dan
b. ruas restorasi sungai.

Pasal 21
(1) Perlindungan palung sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dilakukan dengan menjaga dimensi palung sungai.
(2) Menjaga dimensi palung sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan pengambilan komoditas tambang di sungai.
(3) Pengambilan komoditas tambang di sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan pada sungai yang mengalami kenaikan dasar sungai.

Pasal 22
(1) Perlindungan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b dilakukan melalui pembatasan pemanfaatan sempadan sungai.
(2) Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk kepentingan pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan larangan:
a. menanam tanaman selain rumput;
b. mendirikan bangunan; dan
c. mengurangi dimensi tanggul.
(3) Pemanfaatan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk keperluan tertentu.

Pasal 23
(1) Perlindungan danau paparan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c dilakukan dengan mengendalikan sedimen dan pencemaran air pada danau.
(2) Pengendalian sedimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pencegahan erosi pada daerah tangkapan air.

Pasal 24
(1) Perlindungan dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf d dilakukan pada dataran banjir yang berpotensi menampung banjir.
(2) Perlindungan dataran banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membebaskan dataran banjir dari peruntukan yang mengganggu fungsi penampung banjir.

Pasal 25
(1) Perlindungan aliran pemeliharaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a ditujukan untuk menjaga ekosistem sungai.
(2) Menjaga ekosistem sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari hulu sampai muara sungai.
(3) Perlindungan aliran pemeliharaan sungai dilakukan dengan mengendalikan ketersediaan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen).
(4) Dalam hal debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen) tidak tercapai, pengelola sumber daya air harus mengendalikan pemakaian air di hulu.

Pasal 26
(1) Perlindungan ruas restorasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b ditujukan untuk mengembalikan sungai ke kondisi alami.
(2) Perlindungan ruas restorasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. kegiatan fisik; dan
b. rekayasa secara vegetasi.
(3) Kegiatan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penataan palung sungai, penataan sempadan sungai dan sempadan danau paparan banjir, serta rehabilitasi alur sungai.

Pasal 27
(1) Pencegahan pencemaran air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. penetapan daya tampung beban pencemaran;
b. identifikasi dan inventarisasi sumber air limbah yang masuk ke sungai;
c. penetapan persyaratan dan tata cara pembuangan air limbah;
d. pelarangan pembuangan sampah ke sungai;
e. pemantauan kualitas air pada sungai; dan
f. pengawasan air limbah yang masuk ke sungai.
(2) Pencegahan pencemaran air sungai dilaksanakan sesuai dengan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan sungai diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sungai

Pasal 29
Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b merupakan bagian dari pengembangan sumber daya air.
Pasal 30
(1) Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan melalui pemanfaatan sungai.
(2) Pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemanfaatan untuk:
a. rumah tangga;
b. pertanian;
c. sanitasi lingkungan;
d. industri;
e. pariwisata;
f. olahraga;
g. pertahanan;
h. perikanan;
i. pembangkit tenaga listrik; dan
j. transportasi.
(3) Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merusak ekosistem sungai, mempertimbangkan karakteristik sungai, kelestarian keanekaragaman hayati, serta kekhasan dan aspirasi daerah/masyarakat setempat.

Pasal 31
(1) Pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; dan
b. mengalokasikan kebutuhan air untuk aliran pemeliharaan sungai.
(2) Dalam melakukan pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
a. mengakibatkan terjadinya pencemaran; dan
b. mengakibatkan terganggunya aliran sungai dan/atau keruntuhan tebing sungai.

Pasal 32
Dalam melakukan pemanfaatan sungai untuk perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf h, selain harus mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, harus pula mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan sungai.
Pasal 33
Dalam melakukan pemanfaatan sungai untuk pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf i, selain harus mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dilarang menimbulkan banjir dan kekeringan pada daerah hilir.
Bagian Keempat
Pengendalian Daya Rusak Air Sungai

Pasal 34

(1) Pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dilakukan melalui pengelolaan resiko banjir.
(2) Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu bersama pemilik kepentingan.

Pasal 35
(1) Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ditujukan untuk mengurangi kerugian banjir.
(2) Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengurangan resiko besaran banjir; dan
b. pengurangan resiko kerentanan banjir.
(3) Kegiatan pengurangan resiko banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36
(1) Pengurangan resiko besaran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a dilakukan dengan membangun:
a. prasarana pengendali banjir; dan
b. prasarana pengendali aliran permukaan.
(2) Pembangunan prasarana pengendali banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan membuat:
a. peningkatan kapasitas sungai;
b. tanggul;
c. pelimpah banjir dan/atau pompa;
d. bendungan; dan
e. perbaikan drainase perkotaan.
(3) Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan membuat:
a. resapan air; dan
b. penampung banjir.

Pasal 37
(1) Resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf a dapat berupa saluran, pipa berlubang, sumur, kolam resapan, dan bidang resapan sesuai dengan kondisi tanah dan kedalaman muka air tanah.
(2) Dalam hal bidang resapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan untuk keperluan lain, wajib menggunakan lapis penutup atau perkerasan lulus air.

Pasal 38
(1) Pembangunan penampung banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf b harus terhubung dengan sungai.
(2) Dalam hal penampung banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun di atas hak atas tanah perorangan atau badan hukum, pelaksanaannya wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pasal 39
(1) Pembangunan prasarana yang berfungsi sebagai pengendali banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(2) Pembangunan prasarana yang berfungsi sebagai drainase kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf e dilaksanakan oleh bupati/walikota.

Pasal 40
(1) Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota apabila pengendali aliran permukaan berfungsi sebagai pengendali banjir.
(2) Pembangunan prasarana pengendali aliran permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh bupati/walikota apabila pengendali aliran permukaan berfungsi sebagai drainase kota.

Pasal 41
(1) Pengurangan resiko kerentanan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengelolaan dataran banjir.
(2) Pengelolaan dataran banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penetapan batas dataran banjir:
b. penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir;
c. pengawasan peruntukan lahan di dataran banjir;
d. persiapan menghadapi banjir;
e. penanggulangan banjir; dan
f. pemulihan setelah banjir.

Pasal 42
(1) Penetapan batas dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dilakukan dengan identifikasi genangan banjir yang terjadi sebelumnya dan/atau pemodelan genangan dengan debit rencana 50 (lima puluh) tahunan.
(2) Penetapan batas dataran banjir dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

Pasal 43
(1) Dalam dataran banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ditetapkan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b.
(2) Penetapan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peta zonasi peruntukan lahan dataran banjir.
(3) Penetapan zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir dilakukan oleh bupati/walikota.

Pasal 44
Bupati/walikota melakukan pengawasan atas zona peruntukan lahan sesuai resiko banjir yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3).
Pasal 45
(1) Persiapan menghadapi banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf d dilakukan melalui kegiatan:
a. penyediaan dan pengujian sistem prakiraan banjir serta peringatan dini;
b. pemetaan kawasan beresiko banjir;
c. inspeksi berkala kondisi prasarana pengendali banjir;
d. peningkatan kesadaran masyarakat;
e. penyediaan dan sosialisasi jalur evakuasi dan tempat pengungsian; dan
f. penyusunan dan penetapan prosedur operasi lapangan penanggulangan banjir.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, bupati dan/atau walikota sesuai kewenangannya.

Pasal 46
Penanggulangan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf e dikoordinasikan oleh badan penanggulangan bencana nasional, provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
(1) Pemulihan setelah banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf f dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2) Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan, fasillitas umum, fasilitas sosial, serta prasarana sungai.

Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengelolaan dataran banjir diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyusunan Program dan Kegiatan
Pasal 49
Penyusunan program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a meliputi program konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai.
Pasal 50
(1) Program konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disusun berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya air.
(2) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, program konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai disusun berdasarkan kebutuhan.
(3) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan dengan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang akan ditetapkan.

Pasal 51
(1) Program konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(2) Program konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kegiatan tahunan.
(3) Rencana kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat rencana rinci pelaksanaan kegiatan serta pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai.

Pasal 52
(1) Penyusunan program dan rencana kegiatan tahunan harus memperhitungkan:
a. manfaat dan dampak jangka panjang;
b. penggunaan teknologi yang ramah lingkungan;
c. biaya pengoperasian dan pemeliharaan yang minimum; dan
d. ketahanan terhadap perubahan kondisi alam setempat.
(2) Penyusunan program dan rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Pelaksanaan Kegiatan

Pasal 53
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b meliputi kegiatan:
a. fisik dan nonfisik konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai; dan
b. operasi dan pemeliharaan prasarana sungai serta pemeliharaan sungai.
Pasal 54
(1) Pelaksanaan kegiatan fisik dan nonfisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kepentingan sendiri berdasarkan izin.
(2) Pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas operasi dan pemeliharaan kegiatan fisik.
(3) Dalam hal tertentu pelaksanaan kegiatan fisik dan nonfisik dapat dilakukan tanpa izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin kepada masyarakat diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 55
(1) Pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan melalui kegiatan:
a. pengaturan dan pengalokasian air sungai;
b. pemeliharaan untuk pencegahan kerusakan dan/atau penurunan fungsi prasarana sungai; dan
c. perbaikan terhadap kerusakan prasarana sungai.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemeliharaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan konservasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28, dan pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 33.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara operasi dan pemeliharaan prasarana sungai serta pemeliharaan sungai diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 56
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pengamatan, pencatatan, dan evaluasi hasil pemantauan.
(3) Hasil evaluasi pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai masukan dalam peningkatan kinerja dan/atau peninjauan ulang rencana pengelolaan sungai.

BAB IV
PERIZINAN
Pasal 57
(1) Setiap orang yang akan melakukan kegiatan pada ruang sungai wajib memperoleh izin.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelaksanaan konstruksi pada ruang sungai;
b. pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran dan/atau alur sungai;
c. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai;
d. pemanfaatan bekas sungai;
e. pemanfaatan air sungai selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada;
f. pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air;
g. pemanfaatan sungai sebagai prasarana transportasi;
h. pemanfaatan sungai di kawasan hutan;
i. pembuangan air limbah ke sungai;
j. pengambilan komoditas tambang di sungai; dan
k. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan karamba atau jaring apung.

Pasal 58
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf g diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.
(3) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf h diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pemanfaatan aliran air dan pemanfataan air setelah mendapat rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kecuali untuk kawasan hutan yang pengelolaannya telah dilimpahkan kepada badan usaha milik negara di bidang kehutanan.
(4) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf i dan huruf j diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.
(5) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf k diberikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat rekomendasi teknis dari pengelola sumber daya air.

Pasal 59

Pemegang izin kegiatan pada ruang sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib:
a. melindungi dan memelihara kelangsungan fungsi sungai;
b. melindungi dan mengamankan prasarana sungai;
c. mencegah terjadinya pencemaran air sungai;
d. menanggulangi dan memulihkan fungsi sungai dari pencemaran air sungai;
e. mencegah gejolak sosial yang timbul berkaitan dengan kegiatan pada ruang sungai; dan
f. memberikan akses terhadap pelaksanaan pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan.

Pasal 60
(1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila pelaksanaan kegiatan pada ruang sungai yang dilakukan oleh pemegang izin menimbulkan:
a. kerusakan pada ruang sungai dan/atau lingkungan sekitarnya, wajib melakukan pemulihan dan/atau perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkannya; dan/atau
b. kerugian pada masyarakat, wajib mengganti biaya kerugian yang dialami masyarakat.

BAB V
SISTEM INFORMASI SUNGAI

Pasal 61
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya menyelenggarakan sistem informasi sungai.
(2) Sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari sistem informasi sumber daya air.
(3) Sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperbarui sesuai kebutuhan.
(4) Sistem informasi sungai bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.

Pasal 62
Penyelenggaraan sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis yang membidangi pengelolaan sumber daya air.
Pasal 63
(1) Masyarakat dapat menyelenggarakan sistem informasi yang terkait dengan sungai untuk kepentingan sendiri.
(2) Informasi yang dihasilkan dari sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada dan/atau dapat diakses oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Pasal 64
Sistem informasi sungai meliputi:
a. data variabel dan parameter sungai;
b. operasi peralatan; dan
c. pelaksana sistem informasi.
Pasal 65
(1) Data variabel sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a merupakan informasi mengenai data ketersediaan air dan kejadian banjir.
(2) Data ketersediaan air dan kejadian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi data:
a. curah hujan;
b. elevasi muka air sungai;
c. kandungan sedimen air sungai;
d. pengambilan air;
e. data fisik banjir; dan
f. penyebab, jenis, dan jumlah kerugian akibat banjir.
(3) Data mengenai ketersediaan air dan kejadian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diinventarisasi oleh instansi yang membidangi sumber daya air.

Pasal 66
(1)Sistem informasi mengenai parameter sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a meliputi data fisik sungai dan data fisik daerah aliran sungai serta data sosial ekonomi masyarakat di daerah aliran sungai.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
a. topografi alur sungai;
b. prasarana sungai;
c. kondisi fisik daerah aliran sungai;
d. hidrometeorologi
e. hidrogeologi;
f. kondisi penutup lahan;
g. rencana tata ruang;
h. kelembagaan yang terkait dengan sungai;
i. kependudukan;
j. mata pencaharian penduduk; dan
k. kearifan lokal.
(3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari instansi yang mengelola data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67
(1) Operasi peralatan sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, dan pengiriman data.
(2) Peralatan sistem informasi sungai terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak.
(3) Perangkat keras dan perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria mudah dioperasikan, akurat, dan tidak mudah rusak.
(4) Pengadaan peralatan sistem informasi sungai harus mengutamakan produksi dalam negeri.

Pasal 68
(1) Pelaksana sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang sistem informasi sungai.
(2) Keahlian di bidang sistem informasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas keahlian pengumpulan data sungai, pengolahan data sungai, dan pengiriman data sungai.
(3) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ditugaskan menangani sistem informasi sungai.

BAB VI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 69
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya melakukan pemberdayaan masyarakat secara terencana dan sistematis dalam pengelolaan sungai.
(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. sosialisasi;
b. konsultasi publik; dan
c. partisipasi masyarakat.
(3) Sosialisasi, konsultasi publik, dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam kegiatan konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai.
(4) Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya harus menyediakan pusat informasi.

Pasal 70
(1) Kegiatan sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a ditujukan untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap masalah yang terkait dengan perlindungan sungai, pencegahan pencemaran air sungai, serta pengurangan resiko kerentanan banjir.
(2) Kegiatan sosialisasi dilakukan melalui pengenalan lingkungan sungai, kunjungan lapangan, identifikasi masalah, pendampingan, dan pelatihan.

Pasal 71
(1) Kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b ditujukan untuk memperoleh masukan dalam rangka meningkatkan efektifitas kegiatan pengelolaan sungai.
(2) Kegiatan konsultasi publik dilakukan melalui survei pendapat umum, diskusi, dengar pendapat, dan lokakarya mengenai pengelolaan sungai.

Pasal 72
(1) Kegiatan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c ditujukan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sungai.
(2) Kegiatan partisipasi masyarakat dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja dan kerja sama pengelolaan sungai.

Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sungai diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 74
Dalam rangka memberikan motivasi kepada masyarakat agar peduli terhadap sungai, tanggal ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai Hari Sungai Nasional.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 75
(1) Bekas sungai dikuasai negara.
(2) Lokasi bekas sungai dapat digunakan untuk membangun prasarana sumber daya air, sebagai lahan pengganti bagi pemilik tanah yang tanahnya terkena alur sungai baru, kawasan budidaya dan/atau kawasan lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercatat sebagai barang milik negara/daerah, penggunaan bekas sungai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan bekas sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 76
(1) Dalam hal terjadi pengalihan alur pada sungai sehingga terbentuk alur sungai baru yang pelaksanaannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau perolehan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka alur sungai baru dicatat sebagai barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan alur pada sungai sehingga terbentuk alur sungai baru yang pelaksanaannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau perolehan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka alur sungai baru dicatat sebagai barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77
(1) Sungai dan/atau anak sungai yang seluruh daerah tangkapan airnya terletak dalam satu wilayah perkotaan, dapat berfungsi sebagai drainase perkotaan.
(2) Sungai dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan, pengelolaannya diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan pembinaan teknis dari Menteri.
(3) Penentuan sungai dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah kabupaten/kota dengan Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.

Pasal 78
Pengelolaan sungai yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dapat dilimpahkan sebagian pengelolaannya kepada gubernur dan/atau bupati/walikota berdasarkan asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79
Pengelolaan sungai dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 80
Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku, Menteri, gubernur, bupati/walikota wajib menetapkan garis sempadan pada semua sungai yang berada dalam kewenangannya.
Pasal 81
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, setiap izin pemanfaatan sungai tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.
(2) Permohonan izin pemanfaatan sungai yang sedang dalam proses wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 82
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 83
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 84
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

Description: ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar