Permasalahan
sungai, ecara ekologis, keberadaan talud beton, akan membatasi
keluar/masuknya air dari sempadan ke bantaran sungai dan sebaliknya,
juga secara sinergis akan mempercepat energi banjir. Dengan demikian,
erosi dasar sungai dan sedimentasi di muara sungai akan lebih cepat
terjadi. Jadi dasar talud akan selalu tergerus arus banjir, dengan
demikian biaya pemeliharaam talud akan selalu dibutuhkan. Di samping
itu, dampak yang muncul adalah : mata air mikro yang ada di kanan kiri
sungai akan mati, sehingga akan berakibat pada terjadinya fluktuatif
debit sungai, antara musim penghujan dan musim kemarau, juga akan
mengurangi keluaran air sungai, yang menjadi air masukan bagi daerah
bawahannya, yang akan menjadi air tanah. Keberadaan permukiman dan
aktifitas warga di sempadan, akan berpengaruh pada : makin berkurangnya
areal resapan air hujan, sebelum menjadi limpasan, proses purifikasi
limbah cair, kualitas ekologi sempadan dan bantaran sungai (ekologi
sungai tercemar), makin langkanya keanekaragaman hayati di sempadan,
buangan limbah rumah tangga/industri rumah tangga ke sungai, timbunan
sampah di sempadan sungai.
Adanya keramba permanen dan tanaman di badan sungai, ketika banjir datang, akan dapat membelokkan arus air, sehingga akan dapat menghantam tebing sungai yang ada di kanan-kiri sungai. Adanya “TPA” liar di sempadan sungai berdampak pada aspek kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, lindi yang dihasilkan akan mencemari perairan sungai. Secara fisik, bekas timbunan sampah, dikemudian hari akan muncul menjadi permukiman baru. Permasalahan lain yang muncul adalah : lokasi/areal wedhi kengser yang ada, ternyata sudah “dihaki” oleh orang-orang tertentu, yang kelak juga akan menjadi hunian. Padahal ketersediaan ruang publik/RTH sebagai sarana komunikasi/bermain warga sempadan sungai di perkotaan, sangat dibutuhkan.
Untuk mewujudkan Winongo yang
asri/indah, dengan harapan menjadi tujuan wisata alternatf di perkotaan,
ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para pemangku
kepentingan, di antaranya adalah : 1) lahan-lahan wedhi kengser agar
secepatnya ditangani pemerintah, kemudian dimanfaatkan sebagai kawasan
publik/Ruang Terbuka Hijau (RTH), 2) pengelolaan sampah yang benar dari
hulu sampai hilir (sesuai dengan Undang-Undang No. 18, Tahun 2008,
tentang Pengelolaan Sampah), 3) penyediaan hunian vertikal bagi warga
sempadan sungai yang ada sekarang, dengan harapan lingkungan permukiman
tertata dan akan dapat menambah ruang terbuka, 4) pengelolaan limbah
rumah tangga (komunal) dan penanganan limbah industri yang bermuara di
pinggir sungai (Wirobrajan dan Notoprajan), 5) mengendalikan munculnya
permukiman baru, 6) sungai dipertahankan/dibuat sealami mungkin
(seminimal mungkin bangunan-bangunan buatan). Paling tidak, kondisi
sempadan sungai yang ada seperti sekarang ini, dijaga/dipertahankan dan
ditingkatkan, agar tidak lebih rusak lagi. Di samping itu, Peraturan
Gubernur, No.32, tahun 2011, tentang Program Kali Bersih, harus
diimplemantasikan oleh para pemangku kepentingan. Untuk menangani
permasalahan Sungai Winongo, perlu menggandeng kelembagaan yang sudah
ada, yaitu Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA). FKWA mempunyai impian
Winongo menjadi obyek wisata ditahun 2030. Agar impian tsb.dapat
terwujud, maka diperlukan komitmen semua pemangku kepentingan dan warga
yang ada di sub-sub DAS Winongo, dari hulu sampai hilir. Bukan pekerjaan
yang sederhana dan mudah (blh-kun)
Sumber : http://blh.jogjaprov.go.id/2013/01/mewujudkan-sungai-winongo-asri-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar