Pagi Minggu (1/10/17), mentari
tampak cerah. Di pinggiran Sungai Winongo, Kecamatan Pringgokusuman, Kota
Yogyakarta, puluhan warga, pelajar, mahasiswa berbaur. Mereka terlihat serius
di gundukan pasir tepat di pinggiran sungai.
Hari itu, sekitar lima kelompok
turun di 17 titik Sungai Winongo. Para pemantau sungai ini dari relawan Sungai,
Karang Taruna, SMK, SMAN, SMA Muhammadiyah, mahasiswa Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Pemantauan di hulu Sleman, titik
tengah di Yogyakarta hingga di hilir di Bantul menggunakan metode biotilik. Ia
metode pemantauan kualitas air pakai indikator makhluk hidup berupa
makroinvertebrata seperti serangga air, udang dan cacing.
“Khusus pemantauan biotilik besok kita
pakai hewan makroinvertebrata untuk menguji kualitas Sungai Winongo,” kata
Halik Sandera Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, kepada Mongabay.
Pencemaran air sungai di Yogyakarta,
katanya, tergolong berat. Pencemaran terberat di aliran Sungai Winongo,
yang membelah sisi Barat Yogyakarta. Pemantauan ini salah satu bentuk tata
kelola sumber air alternatif untuk penyelamatan sumber-sumber air.
“Ke depan bisa reguler tiap enam
bulan sekali, di sungai-sungai di Yogyakarta dan dijalankan seluruh
masyarakat,” katanya.
Kegiatan ini, diselenggarakan oleh
Walhi Yogyakarta dan Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) didukung Water Forum
UIN Sunan Kalijaga, Kelompok Studi Entomologi Fakultas Biologi UGM, River and
Ecology Club dan Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan
Kalijaga.
Tujuannya, kata Halik,
meningkatkan kepedulian dan kesadaran betapa penting sumber air bagi kehidupan.
Juga pelestarian dan perlindungan sumber-sumber air.
Dalam biotilik, ada beberapa
biota bisa jadi indikator kualitas air dalam sungai seperti ikan, alga,
bakteri, plankton dan makroinvertebrata. Ada 92 jenis hewan makroinvertebrata
masuk catatan Walhi, yang diklasifikasikan dalam empat kategori yaitu sangat
sensitif, sensitif, toleran dan sangat toleran.
Masing-masing kategori, katanya,
mewakili sejauh mana tercemar atau tidak aliran sungai. Contoh, ketika
masih ditemukan udang maka aliran sungai di sekitar masih punya kualitas bagus
karena udang masuk kategori sensitif terhadap pengaruh pencemaran.
Lalat juga sensitif. Kalau masih ada
berarti air sungai sekitar masih bagus. “Jika tak ada udang tapi ada
cacing dan nyamuk, berarti aliran sungai sekitar tercemar, karena cacing dan
nyamuk toleran terhadap pencemaran,” katanya.
Salah satu kelola sumber air
alternatif komunitas dalam penyelamatan air Indonesia memiliki 6% potensi air
dunia atau 21% potensi Pasifik. Ironisnya, Indonesia, setiap tahun alami krisis
air bersih secara kualitas maupun kuantitas.
Sumber air alam makin menyusut dan
penyediaan air bersih oleh negara belum maksimal. Air, katanya, kunci
pembangunan berkelanjutan, mempunyai peran sentral pengentasan
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, hingga kelestarian lingkungan.
Air, katanya, memberikan
kontribusi dalam ketahanan pangan dan energi, kesehatan masyarakat dan
lingkungan, serta mata pencaharian penduduk bumi.
Berdasarkan data Walhi Yogyakarta,
Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak DAS Opak mempunyai luas 141.575,229 hektar
terletak di enam kabupaten yaitu Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul,
jadi Yogyakarta (131.074,35 hektar ) dan Klaten, Wonogiri, jadi Jawa Tengah
(10.500,86 hektar). DAS Opak juga terdapat 14 Sungai dengan total panjang 438
Km.
Menurut Halik, sebagian besar sungai
di perkotaan tercemar, salah satu penyebabnya kepadatan penduduk tak sebanding
ketersediaan lahan. Di Yogyakarta, katanya, sumber air DAS Opak sangat komplek.
Kondisi hulu rusak karena pertambangan pasir galian C ilegal hingga mengganggu
proses pengisian ulang air tanah.
Di tengah dan hilir desakan
pemukiman dan pembangunan masif hingga resapan air minim dan limbah padat, cair
maupun gas, meningkat. Kualitas lingkungan makin kritis karena pencemaran dan
kejadian bencana ekologis berulang.
“Hotel, apartemen dan mal di Jogja
masif, kuantitas dan kualitas air terus menurun. Jika tak dihentikan bencana
ekologi terus meningkat.”
Endang Rohjiani, Ketua FKWA
Yogyakarta mengatakan, dari proses biotilik, pencemaran sungai di Jogja khusus
Winongo sangat berat terlihat dari pengamatan di aliran sungai. Pencemaran
terberat terlihat di aliran sungai area Mantrijeron, Yogyakarta. Indeks
biotilik 1,6, termasuk tinggi.
Di Sungai Winongo area Tegalrejo
hingga Pakuncen, hasil pengamatan menunjukkan pencemaran ringan, karena indeks
biotik 2,6. Indeks ini, katannya, dihitung dari sejumlah parameter keragaman
jenis mikroorganisme invertebrata, jenis famili mikroorganisme invertebrate,
prosentase kelimpahan mikroorganisme invertebrata EPT, dan penilaian indeks
biotilik.
Sungai Winongo, banyak sampah tetapi
warga tetap memancing ikan di sungai itu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay
Indonesia
Sungai Winogo memiliki banyak mata
air, sebagian mati karena tertimbun longsor maupun tertutup talud. Dulu,
sungai ini sering untuk kegiatan sehari-hari, seperti mencuci, mandi, dan
lain-lain. Karena kualitas air berangsur-angsur memburuk, sebagian warga enggan
memanfaatkan sungai. Kini sungai malah buat menambang pasir, besi, batu dan
membuat keramba.
Kondisi kualitas sungai dengan
indeks biotilik dibagi empat kategori yaitu tidak tercemar (3,3 s.d.
4.0), tercemar ringan (2,6 s.d. 3,2), tercemar sedang (1,8 s.d. 2,5) dan
tercemar berat (1,0 s.d. 1,7).
Adapun teknis metode biotilik yakni
relawan turun ke sungai dibekali beberapa peralatan pendukung seperti jaring
dan kaca pembesar untuk mempermudah pengambilan hewan dan pengamatan makluk
hidup di sungai. Hewan dicocokkan dengan data lalu diolah untuk diambil
kesimpulan.
“Makin banyak hewan
makroinvertebrata ditemukan makin baik, karena mempermudah analisis kita
tentang kondisi air sungai,” kata Endang.
Soal kualitas Sungai Winongo,
ancaman pencemaran dari pembuangan berbagai limbah, baik rumah tangga maupun
industri. Di Tamansari, sumber pencemaran dari limbah industri batik dan limbah
rumah tangga yang tak terolah sempurna karena instalasi pengeolahan air limbah (IPAL)
komunal rusak.
Kondisi IPAL komunal yang tidak
mampu mengolah limbah dengan baik ini harus menjadi perhatian bersama karena
jumlahnya cukup banyak yaitu 28 IPAL di Kota Yogyakarta, sebanyak 40 persen
diantaranya tidak berfungsi dengan baik.
“Solusinya adalah memberikan edukasi
ke masyarakat untuk bisa memelihara IPAL agar kondisinya selalu baik,” kata
Endang.
Pemantauan
sungai dengan metode botilik di Sungai Winongo.Foto: Tommy Apriando/ Mongabay
Indonesia
Prigi Arisandi dari Ecological
Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mengatakan, sungai ekosistem
daratan paling kritis karena tekanan lingkungan tinggi. DAS rusak, dan bantaran
sungai serta eksploitasi sumber alam di tak memperhatikan daya dukung
lingkungan.
Dengan biotilik, cukup
menggunakan jaring dengan mata jaring lebih kecil atau sama 500um atau pakai
jaring nener (kasa nyamuk) di toko material. “Biotilik mudah, juga murah dan
massal karena bisa bersama-sama dan cara mitigasi pencemaran. Diharapkan dapat
mengambil langkah cepat antisipasi kerusakan sungai lebih parah,” katanya.
Sungai isu politik
Agus Maryono, akademisi Universitas
Gadjah Mada mengatakan, sungai punya banyak peran strategis seperti suplai air,
menanggulangi banjir, kekeringan, alat transportasi, iklim mikro, kesehatan
ekosisitem, jalur hijau, pendidikan dan banyak lagi.
Banyaknya manfaat diperoleh dari
sungai tak diimbangi kesadaran masyarakat dalam memperlakukan sungai. Gerakan
restorasi sungai hadir mengubah pola pikir masyarakat, dengan membangkitkan
kesadaran bahwa sungai mulai terancam. Sungai-sungai tercampur limbah dan luput
dari perhatian masyarakat.
Di Yogyakarta, Agus berinisiatif
membangun konsep sungai restorasi untuk mengembalikan esensi sungai seperti
sediakala. Dia berhasil mensosialisasikan restorasi di lima sungai di
Yogyakarta antara lain Code, Winongo, Tambak Bayan, Sungai Kuning, dan Gajah
Wong.
Restorasi Sungai, kata Agus,
menawarkan lima konsep untuk meningkatkan eksistensi dan mengembalikan esensi
sungai, seperti melalui restorasi hidrologi, ekologi, morfologi, sosial
ekonomi, serta restorasi kelembagaan dan peraturan.
“Isu sungai di Indonesia masih jadi
dagangan politik kampanye, tantangan ke depan gerakan sungai adalah bagaimana
berjuang isu sungai jadi isu politik,” katanya.
Senada dengan Agus, Endang Rohjiani
mengatakan, sungai menjadi isu politik di Indonesia, harus jadi perhatian
publik dan fokus lembaga-lembaga politik, pengambilan kebijakan. Baik
menyangkut penataan pemukiman, konservasi, dan pemberdayaan ekonomi, sampai
pemanfataan ruang.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2017/10/17/pantau-kualitas-sungai-di-jogja-begini-hasilnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar